Antara Sumpah dan Sampah


Tags :

Antara Sumpah dan Sampah

Oleh Eko Wahyudi, S.Pd., M.Pd.

 

Sembilanpuluh lima tahun lalu -- tepatnya 28 Oktober 1928 -- pemuda-pemuda bangsa ini telah bersumpah dan bersepakat atas satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Keragaman suku dan etnik se-nusantara telah diggugurkan egonya dalam bingkai persatuan. Bahwa dalam berkomunikasi diperlukan satu media bahasa yang saling dipahami terhadap pesan-pesan yang disampaikan sehingga terjadi interaksi antar penutur dan petutur.

Sumpah tersebut lazim dikenal dengan nama sumpah pemuda. Tanggal momentum sumpah tersebut diperingati oleh bangsa Indonesia setiap tahunnya. Sumpah pemuda berimplikasi penting dalam semangat persatuan dan proses tumbuhnya kesadaran perjuangan merebut (kembali) kemerdekaan untuk memulai masa depan yang lebih baik dari sebelumnya. Sumpah pemuda yang berakar pada gerakan organisasi merupakan kekuatan yang dapat mengancam keberlangsungan eksploitasi kolonial.

Sumpah Pemuda menjadi bukti nyata adanya sifat nasionalisme pemuda-pemuda Indonesia. Melalui sumpah ini pula tebangun kesadaran bahwa bangsa ini berada di bawah kolonialisme Belanda, Melalui ikrar tersebut kemudian berkembang lebih tegas menuju negara Indonesia merdeka.

Setelah mengalami perjalanan hampir seabad sumpah pemuda ini, masihkan permsalahan substansial sumpah ini relevan? Mengapa perlu dipertanyakan. Cukup panjang waktu menuju kemerdekaan pasca bergulirnya sumpah pemuda. Tujuh belas tahun kemudian dan tepat pada hari ke tujubelas bulan Agustus barulah kemerdekaan bangsa ini diproklmasikan. Ya, kolonial boleh dinayatakan berakhir.

Penataan sistem pemerintahan, salah satunya menetapkan bahasas Indonesia menjadi bahasa nasional atau bahasa resmi negara. Tentu menjadi sebuah kebanggaan karena tidak perdebatan kepentingan dalam menuangkan gagasan apapun menju negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Perlahan dan pasti sistem pemerintahan itu tertata dan berjalan. Bahasa Indonesia pun mengalami penataan dengan beragam tata bahasanya.

Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer (mana suka) berdasarkan kesepakatan masyarakat yang memakai bahasa untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Menurut Suminar (2016: 114) Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional, yang berfungsi sebagai alat komunikasi yang mempunyai peran sebagai penyampai informasi. Bahasa dapat dicirikan sebagai serangkaian bunyi (Suriasumantri, dalam Setyonegoro, 2012: 64).

Prinsipnya bahasa terdiri dari bunyi dan arti. Bunyi yang dimaksud adalah bunyi yang keluar dari alat ucap manusia dan memiliki arti tertentu. Bunyi yang ada dapat melambangkan suatu objek tertentu. Manusia memberikan nama-nama benda dengan asal atau sesukanya sesuai dengan kesepakatan kelompok yang akan menggunakan bahasa tersebut. Hal ini memungkinkan adanya perbedaan kata atau penyebutan di berbagai daerah. Misalnya dalam bahasa Indonesia disebut padi dan dalam Bahasa Inggris disebut rice, dalam bahasa daerah malah lebih dari itu. Sebut saja pari, beras, menir, sega, upa, dan seterusnya. Oleh karena itu bahasa juga menjadi ciri khas suatu daerah.

Sejarah perkembangan bahasa Indonesia, menurut Nurhasanah (2017:89) dibedakan dalam tiga periode yaitu: Pertama, periode sebelum Sumpah Pemuda 1928. Pada periode ini, kondisi bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan, sedang bahasa resmi yang digunakan di sekolah-sekolah adalah bahasa Belanda. Kedua, Periode Sumpah Pemuda Sampai Periode Kemerdekaan Republik Indonesia. Pada periode ini, yaitu sejak tahun 1928 sampai tahun 1945, perkembangan bahasa Indonesia mengalami perubahan penggunaan di masyarakat. Ketiga, Periode Pasca Proklamasi Kemerdekaan sampai sekarang. Dalam periode ini terdapat beberapa pembaharuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia, diantaranya: (1) Bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa Nasional seperti tersurat dalam UndangUndang Dasar 1945 pasal 36 yang berbunyi bahwa “bahasa negara adalah bahasa Indonesia”.

Perjalanan dan perkembangan bahasa tidak lepas pula dari pengaruh kemajuan dan perkembangan teknologi. Majunya teknologi dan pengetahuan menyebabkan adanya lambang-lambang baru muncul. Ditambah lagi pemikiran-pemikiran yang dimiliki manusia membuat bahasa semakin berkembang, karena itu perbendaharaan kata juga semakin banyak. Setiap manusia dari berbagai golongan pasti mempunyai pemikirnnya sendiri dan mengembangkan bahasa yang khas untuk kelompoknya.

Kelompok-kelompok pun juga bermunculan. Misal pada kelompok anak usia remaja muncul bahasa yang disebut dengan bahasa gaul. Adanya bahasa gaul ini menyebabkan penggunaan Bahasa Indonesia tidak lagi dengan baik dan benar sesuai kaidah kebahasaan. Kesalahan penggunaan bahasa secara otomatis juga bermunculan. Bahkan perkembangan bahasa melalui komunikasi media sosial yang tanpa batas, menyebabkan semakin lepas dari kaidah, termasuk dalam hal ini adalah pelanggaran norma-norma kesopanan dan kesusilaan.

Siswa di sekolah dan masyarakat pada umumnya tidak lagi memerlukan kaidah kebahasaan yang ribet. Prinsip berbahasa adalah berkomunikasi, maka sepanjang komunikasi tersebut dapat ditangkap dan dipahami maknanya, sudah cukup. Lihat saja pada percakapan melalui media sosial yang saling hujat, saling caci, saling fitnah dengan beragam diksi sangat kasar. Diksi yang selama ini dipahami sebagai bahasa yang tidak pantas diucapkan dan digunakan berkomunikasi seolah lepas dari sarangnya. Belum lagi, apa yang sedang dibicarakan sebenarnya tidak ada hal substansial. Boleh dikatakan membicarakan perkara-perkara yang tidak bernilai. Maka pembicaraan yang demikian ini bleh disebut sampah.

Sampah komunikasi bertebaran untuk diperdebatkan. Antarpenutur saling memberikan tekanan aksentuasi berupa tanda baca yang menunjukkan amarah. Debat panas berlangsung secara daring itu tidak pernah berakhir. Antarpenutur tidak pernah bertemu sapa. Munculnya identitas palsu atau akun tak beridentitas jelas sengaja digunakan untuk saling menekan.

Pada ruang percakapan ini, penulis menganggap adanya penjajahan atau kolonialisme baru terhadap klaim kebenaran opini masing-masing. Maruah tiga poin utama sumpah pemuda diuji seperti halnya kesaktian Pancasila pada masa-masa perdebatan idiologi. Melalui peringatan Hari Sumpah Pemuda ini mestinya setiap pribadi mampu mengendalikan diri tentang adanya persatuan dalam wilaah negara yang sama. Kesadaran satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa dengan beragam kaidah, temasuk salah satunya mengutamakan kesopanan dan kesusilaan perlu dibangun kembali.

Informasi yang terpublikasi melalui teknologi digital sebaiknya mempertajam dan memperluas pengetahuan. Digitalisasi pengetahuan tersebut dimaksudkan untuk meraih kecepatan penyebarannya, bukan pada penyalahgunaannya. Mari bijak berbahasa, bijak bersosial media, bijak menyerap informasi dan pengetahuan melalui teknologi. Sifat kolonialisme sudah berakhir, tidak perlu dihidupkan kembali apalagi berpecah belah melalaui percakapan sampah.

 

 

Penulis adalah Guru Bahasa Jawa SMPN 1 Karangsambung

Alumni pendidikan bahasa Indonesia Unnes Semarang.

Copyright © 2021 - 2024 SMP NEGERI 1 KARANGSAMBUNG