Guru Imajiner Era (Kurikulum)
Merdeka
Oleh Eko Wahyudi
Â
Bambang Ekalaya atau Raden
Palgunadi adalah pribadi yang memiliki keahlian dalam hal memanah. Untuk
meningkatkan kompetensi memanahnya, ada satu ilmu yang diyakini sangat ampuh
yaitu Danuwenda. Konon ilmu itu hanya dimiliki oleh Resi Dorna. Karena itu
bergeraklah menemui Resi Dorna untuk berguru, menyecap ilmu memanah melalui
pendidikan dan pelatihan.
Sayang, keinginan
tersebut tidak gayung bersambut. Resi Dorna sudah berjanji tidak akan
memberikan ilmu kepada siapapun kecuali Pandhawa dan Kurawa. Arjuna, adalah
murid kesayangan Resi Dorna yang digadang-gadang kelak menjadi pemanah terbaik setelah
menguasai ilmu Danuwenda.
Bambang Ekalaya tidak
lekas patah arang. Ia lalu pergi ke tengah hutan untuk menempa diri menguasai
ilmu Danuwenda. Meskipun tanpa guru. Ya, bermodal spirit dan keyakinan kuat
dalam hatinya bahwa ilmu itu bisa dipelajari tanpa guru. Ekalaya menggunakan
tokoh imajiner berupa patung dengan wajah menyerupai Resi Dorna. Patung itu
dijadikan mentor setiap kali menggmbeleng kemampuannya hingga merasa cukup.
Ketika Pandhawa malakukan
perburuan di hutan, menemukan seekor babi hutan mati akibat luka panah di
bagian mulutnya. Tidak hanya satu panah, namun beberapa mata panah tertancap
bersamaan. Tidak mungkin hal itu dilakukan oleh orang sembarangan, karena
kemampuan memanah seperti ini hanya bisa dilakukan oleh pemilik ilmu Danuwenda.
Selain, Resi Dorna dipastikan belum ada. Pasca ditemukan bahwa pemanahnya,
ternyata Ekalaya yang mengaku mendapatkan ilmu itu dari Resi Dorna.
Arjuna merasa dikhianati
akan janji Resi Dorna untuk menjadikan satu-satunya murid Resi Dorna yang akan
memiliki ilmu Danuwenda. Resi Dorna berani menyangkal. Maka untuk mengalahkan
kemampuan Ekalaya adalah melumpuhkan jari-jemarinya. Resi Dorna menyatakan
kepada Ekalaya untuk diakui sebagai murid setia Resi Dorna, maka perlu menyerahkan
potongan dua ibu jarinya. Ekalaya secara tulus memotong ibu jari dan menyerahkan
kepada Resi Dorna. Setelah itu, barulah Ekalaya dapat dikalahkan Arjuna.
 Narasi dalam tulisan ini semata-mata berfokus
pada proses pendidikan yang ditempuh Bambang Ekalaya. Melalui guru imajiner
berupa patung – benda mati – seorang Ekalaya mampu menghadirkan nilai spiritual
yang sangat tinggi. Indikator ketercapaiannya adalah sesuai dengan cita-cita
masa depan, yaitu pemanah dengan kompetensi Danuwenda. Berhasil. Resi Dorna
sang pemilik ilmu Danuwenda pun justru kaget, bahwa penguasaan ilmunya nyaris
sempurna dan tidak kalah dibandingkan dengan Arjuna yang berproses langsung
pada guru.
Pembaca pasti sudah
menemukan simpulan awal pada kisah Ekalaya ini. Ya, masih perlukah kehadiran
seorang guru pada proses pembelajaran? Tentu permasalahan ini tidak sekadar
dijawab ya atau tidak. Penguasaan ilmu pengetahuan (kognitif), keterampilan
(afektif), dan sikap (psikomotorik), tentu tidak bisa diakses semudah Ekalaya.
Daya spiritual yang dimiliki Ekalaya berbeda dengan yang kita miliki. Untuk
mengukur seberapa tinggi keyakinan kita pada proses pencapaian pembelajaran
tentu diperlukan kehadiran orang lain – bukan benda mati – sampai ditentukan
simpulan pencapaiannya.
Jawa sudah mengajarkan melalaui
pitutur luhur berupa frasa aja rumangsa bisa nanging bisaa rumangsa.
Ada kesadaran yang perlu dibangun dalam frasa tersebut bahwa perasaan tidak
bisa dijadikan ukuran yang akurat atau valid. Merasa bisa adalah perkara tidak
terukur bahkan cenderung sombong. Sedangkan bisa rumangsa adalah sadar
diri terhadap kompetensi yang dimiliki belum tentu mencapai derajat bisa. Kesadaran
ini bukan berarti untuk membatasi dan menghentikan aktivitas, tetapi lebih pada
pernyataan yang tidak perlu dipublikasikan. Ekalaya tidak menyatakan sudah
menguasai Danuwenda, namun fakta membuktikan melampaui kemampuan Danuwenda. Sedang
Arjuna yang sudah merasa yakin menyecap ilmu Danuwenda belum bisa membuktikan
kemampuannya.
Era kurikulum merdeka –
era digital – sudah tidak asing dengan moda pembelajaran daring, baik secara
langsung dengan guru maupun hanya sebatas menyimak melalui media digital. Menilik
hal itu, boleh disimpulkan bahwa pembelajaran cenderung berorientasi pada hasil.
Produk belajar? Ada atau tidaknya “guru†dalam ranah digital seolah-olah tidak
memberi pengaruh siginifikan. Guru imajiner era digital ini sudah lebih dari
cukup, tinggal akurasi ketercapaian pembelajarannya saja yang diperlukan.
Menurut Nugraha (2020), hasil
belajar adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah kegiatan
belajar. Hasil belajar adalah kompetensi atau kemampuan tertentu
yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar yang meliputi
keterampilan kognitif, afektif, maupun psikomotorik (Wulandari, 2021). Jika
hasil belajar dititikberatkan pada pencapaian materi pelajaran saja, maka ada
nilai-nilai yang akan terabaikan (baca: tidak terukur).
Ranah digital boleh menjadi
indikator kemajuan teknologi pembelajaran, namun pengaruh negatifnya ada pada
penyalahgunaannya. Hasil belajar pada pencapaian kognitif yang tertera pada
angka-angka nominal minimal, maka hanya sebatas sudah melampaui. Guru tetap
diperlukan hadir dalam rangka pembenukan nilai sikap mental dan spiritual atau
dalam bahasa pendidikan adalah karakter. Nilai ini tidak bisa dibentuk oleh
teknologi. Kontradiksi penanaman nilai karakter ini selalu berbenturan dengan
rasa suka dan tidak suka siswa dalam pembelajaran. Pengaruh digitalisasi tentu
tidak menjadikan menarik untuk membentuk karakter.
Belajar dari Ekalaya
maupun Arjuna dan Resi Dorna, sehebat-hebatnya Ekalaya tentu tidak serta merta
harus mengorbankan diri demi mendapatkan legalitas siswa kepada gurunya. Belajar
dari Arjuna dan Resi Dorna, bahwa kemampuan yang diasah sedemikian rupa hingga
mencapai titik kemampuan tertinggi bisa dicapai siapapun. Seseorang tidak bisa
mengklaim bahwa hanya dirinya yang mampu. Karakter “mengalahkan†kemampuan Ekalaya
dengan cara yang tidak bermartabat juga bagian dari tipisnya nilai karakter. Niat
yang sungguh-sungguh dalam belajar pastinya diperlukan. Belajar kepada guru
jauh lebih terbimbing dan terarah dibanding dengan guru imajiner maupun guru
digital.
Selamat Hari Guru
Nasional!
Â
Eko Wahyudi, S.Pd.,M.Pd. adalah
Guru Bahasa Jawa,
Alumni Unnes dan Unwidha
Klaten.
Menulis sastra Jawa di
berbagai media Cetak dan Daring
Â