Pahlawan dan Pahalawan Sebagai
Gelar
Oleh Eko Wahyudi, S.Pd., M.Pd.
Â
Gelar sebagai pahlawan ditetapkan
dalam undang-undang nomor 20 tahun 2009. Gelar tersebut meliputi Pahlawan
Kemerdekaan Nasional, Pahlawan Proklamator, Pahlawan Revolusi, Pahlawan
Kebangkitan Nasional, Pahlawan Perintis Kemerdekaan, dan Pahwalan Ampera. Gelar
itu juga ditetapkan melalui seleksi yang sangat ketat. Sejumlah nama tokoh
negara ini sudah ditetapkan sebagai pahlawan nasional atas jasa-jasanya memperjuangkan
kemerdekaan.
Lalu, siapakah yang dapat
disebut sebagai pahlawan? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pahlawan berarti
orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran,
pejuang yang gagah berani. Jika merujuk pada makna leksikal tersebut, maka
perspektif kita terbatas pada ranah perjuangan merebut kemerdekaan.
Pengalaman dijajah tiga
setengah abad oleh Belanda dan para sekutunya, menjadikan pola pikir masyarakat
Indonesia tentang pahlawan hanya seputar perjuangan mengangkat senjata. Dengan demikian,
maka boeh dikatakan sudah tertutup peluang dan kesempatan seseorang untuk
menjadi pahlawan, setidaknya akan meraih gelar pahlawan. Sebab negara ini sudah
merdeka sejak diproklamasikan pada 17 Agustus 78 tahun yang lalu. Generasi pasca
kemerdekaan tinggal menghafal nama-nama tokoh yang bergelar pahlawan nasional.
Membicarakan pahlawan
seolah dipaksa untuk kembali hidup pada masa lampau. Kita cukup “hafal†bagaimana
seorang tokoh yang gagah berani melawan penajajah Belanda. Baik yang muncul
dari daerah maupun sudah langsung secara nasional. Baik yang muncul pada masa-masa
pemerintahan kerajaan sampai dengan masa nusantara ini muncul gerakan-gerakan perlawanan
melalui organisasi. Dengan menghaal sejarah perjuangan bangsa, apakah sudah
cukup, apakah generasi selanjutna masih harus menghafal pula, dan apakah
benar-benar sifat kepahlawanan tersebut sudah khatam?
Pahlawan juga mengalami
perluasan makna. Artinya pahlawan tidak semata-mata orang yang harus mengangkat
senjata untuk melawan penjajah. Mulanya pahwalan berasal dari bahasa Yunani
yang maknanya adalah melindungi orang lain (Harper, 2010). Pahlawan dapat memengaruhi
cara orang merasa, berpikir, dan bertindak. Ciri khas pahlawan adalah memiliki kharisma
dan daya tarik, dapat menggerakkan individu, dan menginspirasi. Pahlawan juga memengaruhi
pemikiran individu ke tingkat yang lebih signifikan dan menunjukkan kepada individu
bagaimana berperilaku baik (Goethals & Allison, 2012). Â
Pahlawan dijelaskan dalam
literatur dapat mengangkat dan meningkatkan kehidupan orang lain (Kinsella, Ritchie,
& Igou, 2015b). Pahlawan dapat membangkitkan emosi positif seperti, rasa syukur
atau kekaguman (Algoe & Haidt, 2009). Orang mungkin mengalami hal positif akibat
dikaitkan dengan prestasi yang luar biasa oleh pahlawan mereka (Allison & Goethals,
2011).
Dari penjelasn beberapa
ahli tersebut, sesederhana tindakan yang dilakukan untuk dapat memengaruhi pla
pikir orang lain agar melakukan tindakan yang baik sudah bisa dikatakan sebagai
pahlawan. Tindakan kebaikan yang dilakukan juga berdampak pada terciptanya
suasana (kehidupan) yang baik pula. Tentu tindakan yang demikian dapat
dilakukan oleh semua orang. Siapapun dan di manapun. Jika semua orang sudah melakukan
kebaikan, maka kepahlawanan itu muncul pada nurani setiap individu. Selanjutnya,
perilaku dan tindakan tidak terpuji, misalnya kriminalitas sudah mendapatkan
garansi tidak akan terjadi.
Jadi, kepahlawanan dapat
terus bergerak meluas mengikuti pergerakan itu sendiri tanpa mengubah makna
pahlawan. Kebaikan-kebaikan yang muncul akan menjadi catatan kebaikan leh
individu ang melakukannya. Dalam pandangan agama (Islam) boleh disebut sebagai
pahala. Pribadi-pribadi yang rajin melakukan kebaikan untuk mendapatkan pahala
bisa disbeut pahalawan. Hal itu dianalogikan dengan kata dermawan, hartawan, atau
sederet kata lainnya yng dapat dibubuhkan sufik -wan.
Pertanyaan selanjutnya,
perlukah tindakan kebaikan secara umum yang merujuk pada sifat-siat
kepahlawanan itu diberi gelar? Sekali lagi, dalam pandangan agama, oang
melakukan kebaikan hanya berorientasi pada pencapaian gelar, maka kebaikan yang
diperoleh hanya berada pada gelar tersebut. Pahalawan terhenti pada saat ada
orang lain memuji atas tindakan-tindakan yang dilakukan. Â
Pahalawan sendiri perlu
diintonasikan dengan tepat agar tidak menimbulkan makna baru. Pahalawan yang
dimaksud adalah orang-orang yang suka mencari dan mengoleksi pahala atas apa
yang telah diusahakannya, akan beralih makna ketika intonasi pembacaan berbeda.
Pastinya hana pribadi yang melakukan yang mengetahui apakah gelar tersebut
diperlukan atau tidaknya.
Belajar dari penganugerahan
gelar pahlawan nasional di negara ini, tentu meraka tidak pernah berharap. Ada dua
hal setidaknya untuk menyebut alasannya, yaitu yang bersangkutan tidak
mengetahui kalau diberikan gelar karena sudah wafat. Kedua, diberikan gelar
atau tidak sejarah sudah mencatat melalui bukti-bukti perjuangannya saat
melawan penajajah. Istilah ang sedang mengemuka saat ini adalah melihat dan
membaca rekam jejak.
Dari data rekam jejak
perjuangan itu, bagi kita generasi penerus yang “tinggal†mengisi kemerdekaan,
tentu tidak elok kalau perjuangan kita harus dilabeli penghargaan atau gelar
tertentu. Di akhir tulisan ini, penulis mencoba merenungkan seberapa besar proses
menorehkan data rekam jejak untuk mendapatkan pahala kebaikan. Seberapa banyak
sejarah mencatat untuk dijadikan pergerakan dan perubahan pla pikir bagi
generasi mendatang yang (mau) membaca. Semoga para pahlawan yang telah gugur
dan kepahlawanan kekinian juga tercatat sebagai pahalawan yang senantiasa
mengalir pahala kebaikan.
Selamat Hari Pahlawan!
Â
Â
Penulis adalah Guru Bahasa (Jawa) SMPN 1 Karangsambung
Alumni PBSID Unnes
Semarang dan PPs UnwidhaÂ