Sasmita dan Tata Krama Jawa Era Milenial
Oleh Eko Wahyudi
Pak Budi memasuki ruang kelas beberapa menit sebelum
bel tanda masuk berbunyi. Langkahnya penuh wibawa. Tak hanya siswa yang sangat
hormat padanya. Sesama guru dan karyawan sekolah pun segan dengan
kepribadiannya. Kelas menjadi tenang, Pak Budi masih diam, seolah sengaja
membiarkan kelas tidak ada aktivitas. Pandangan matanya meluas ke seluruh
ruangan. Para siswa yang tertatap pandangan jadi menunduk. Beberapa ada yang
memberanikan diri menoleh, lalu berkasak-kusuk. Sejurus kemudian, Sri, ketua
kelas berjalan hendak mengambil sapu. Kelas memang tampak kotor. Beberapa siswa
lain segera membantu Sri. Kelas menjadi bersih. Pak Budi tersenyum. Pelajaran baru
dimulai.
Â
Deskripsi
paragraf fiksi tersebut adalah makna tentang sasmita yang dimiliki Sri, ketua
kelas yang mampu membaca sikap gurunya. Sri berinisiatif melakukan sesuatu. Ada yang janggal dalam diamnya Pak Budi. Ada hal yang seharusnya tidak terjadi, yaitu
kelas dalam kondisi kotor. Guru seharusnya tidak melihat kotornya kelas, kelas seharusnya
bersih, dan regu piket seharusnya bekerja sesuai jadwal.
Sri
sebagai siswa SMP dalam lahir pada era milenial, tentu akan sulit menerjemahkan
makna diamnya seorang guru. Guru yang sudah sekian kali memberikan “wejanganâ€
baik dalam bentuk nasihat maupun tindakan, seharusnya dilaksanakan
sebaik-baiknya oleh siswa. Sebenarnya hanya diperlukan pembiasaan untuk bisa
melakukannya. Karena itu pendidikan hendaknya memberikan ruang dan waktu yang
cukup untuk membiasakan diri melakukan hal kebaikan. Sri mungkin memiliki potensi
dari keluarga dan lingkungan yang terdidik.
Bagaimana
dengan (sistem) pendidikan kita? Secara umum tujuan pendidikan Indonesia untuk
mewujudkan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Sri sudah menunjukkan indikator mampun memenuhi tujuan
pendidikan nasional pada ranah cakap dan bertanggung jawa. Sri cakap menangkap
sikap Pak Budi dan bertanggung jawab sebagai ketua kelas di hadapan guru maupun
teman-temannya. Sasmita Sri mencapai derajat tinggi ketika segera mengambil
sapu dan membersihkan ruang kelas yang kotor. Teman-teman yang berinisiatif membantu
juga bagus meskipun memerlukan contoh dari Sri.
Pendidik
diharapkan mampu memberikan keteladanan untuk memengaruhi perubahan sikap dan
tingkah laku siswa secara bertahap dan berkesinambungan. Memunculkan kesadaran
pada diri siswa tentu tidak dapat diukur dalam rentang waktu di lingkungan
sekolah. Boleh jadi kesadaran itu baru muncul setelah lulus dan atau sejalan
dengan munculnya permasalahan.
Selaras
dengan hakikat pendidikan menurut UU Nomor 23 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Menempatkan adab atau akhlak mulia sebagai
sebuah budaya tentu sudah melekat pada diri masyarakat Indonesia. Lebih-lebih
bagi suku Jawa yang memberikan pendidikan kecerdasan perilaku yang konon
disebut sasmita.
Jawa dalam sasmita
Jawa
dengan sasmita-nya mengarahkan kepekaan
sikap terhadap hal-hal yang dilihat atau dirasakannya. Sasmita merupakan
derajat paling tinggi dalam pendidikan adab. Melalui bahasa simbolik (ekspresi
wajah) seorang pimpinan ketika mengamati lingkungan sangat kotor, maka anak
buah yang memiliki sasmita segera bertindak membersihkannya tanpa harus
diingatkan dan atau diperintah. Satu derajad di bawahnya adalah lesan bupati, artinya seseorang mau melakukan
sesuatu namun perlu mendapatkan teguran atau peringatan. Sementara dhupak kuli adalah derajad paling rendah,
sebab seseorang bersedia melakukan sesuatu atas dasar perintah (baca; bentak) dan
pengawasan karena mempertimbangkan transaksional atas perintah itu.
Tiga
macam kualifikasi kecerdasan perilaku tersebut tidak membedakan strata
pendidikan maupun kelas sosial kemasyarakatan. Siapapun bisa melakukan pada
derajad tertinggi. Justru dengan kemampuannya mengasah sasmita tersebut,
seseorang yang strata pendidikannya rendah atau usianya masih muda sekalipun
akan ternilai tinggi.
Apa
yang diperoleh dalam proses pembelajaran perilaku di dalam sosial
kemasyarakatan yaitu adanya pemahaman tentang hak individu yang harus
dihormati. Kehormatan akan muncul pada nilai sasmita yang diasah. Â Konsep ini lebih menempatkan pandangan tentang
memanusiakan manusia (muda). Artinya pendidikan dilakukan pembudayaan manusia
dan menjadikan manusia sendiri beradab (Sutrisno, 2013).
Jawa dalam tata krama
Selain
kemampuan menempa sasmita dan kesadaran tinggi melakukan tindakan yang baik,
Jawa juga mengukur dalam penggunaan bahasa tutur. Jawa memiliki strata bahasa
mulai dari tingkat yang paling kasar (Ngoko),
menengah (Krama), dan paling halus (Krama Inggil). Ketiganya membedakan
kelas usia dan sosial.
Dalam
implikasinya, masyarakat Jawa akan memilih ragam Krama mengingat kehalusan
tuturnya. Ragam ini akan mengurangi dan atau menghindari ketersinggungan
kepribadian. Lawan tutur akan merasa nyaman karena ditempatkan lebih tinggi
kelas sosialnya sebagai bentuk penghormatan. Hal ni bukan berarti menganggap
ragam Ngoko tidak baik atau tidak boleh digunakan. Ragam Ngoko lazim digunakan dalam komunikasi sehari-hari oleh siapapun
sepanjang tidak memiliki perbedaan usia dan kelas sosial. Ranahnya santai tanpa
harus terikat dalam penghormatan.
Menurut
Sasangka (2004:104) ragam krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang
berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama
adalah leksikon krama bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam
ini pun semuanya berbentuk krama (misalnya, afiks dipun-, -ipun, dan –aken).
Ragam krama digunakan oleh mereka yang belum akrab dan oleh mereka yang merasa
dirinya lebih rendah status sosialnya daripada lawan bicara. Ragam krama
mempunyai tiga bentuk varian, yaitu krama
lugu, karma andhap dan krama alus.
Lebih
lanjut Sasangka (2004:111) menjelaskan secara semantis ragam krama lugu dapat
didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya rendah.
Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan ngoko alus, ragam krama lugu tetap
menunjukkan kadar kehalusan. Sementara Krama andhap yaitu bentuk krama yang
digunakan untuk menghormati lawan bicara dengan cara merendahkan diri sendiri. Sedangkan
krama alus adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kasakatanya
terdiri atas leksikon krama dan dapat ditambah dengan leksikon krama inggil
atau krama andhap.
Meskipun
begitu, yang menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanyalah leksikon yang
berbentuk krama. Leksikon madya dan leksikon ngoko tidak pernah muncul di dalam
tingkat tutur ini. Selain itu, leksikon krama inggil atau krama andhap – secara
konsisten – selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitrawicara. Secara
semantis ragam krama alus dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama
yang kadar kehalusannya tinggi.
Andai
masyarakat (Jawa) menguasai kaidah tutur dan sasmita yang baik (tinggi) tentu
segala bentuk perilakunya masih dalam bingkai adab yang baik. Regulasi Kurikulum
Merdeka melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) memberi ruang
eksplorrasi tentang kearifan lokal. Salah satu bentuk kearifan lokal adalah
mengenal budaya lokal, termasuk salah satunya adalah penanaman nilai-nilai
adiluhung warisan leluhur yaitu mengenal kaidah berbahasa Jawa.
Dari
nilai-nillai luhur tersebut lalu ditransformasi menggunakan bingkai teori
pendidikan, sosial budaya, psikologi, landasan hokum pendidikan beserta
pengalaman dan pengamalannya. Guru menjadi pintu pertama pelaksanaan program
ini, namun demikian dukungan dari keluarga dan masyarakat untuk saling mengawal
diperlukan untuk memberikan pemahaman tentang adiluhungnya Jawa.
Penulis adalah alumni Unnes dan Unwidha KlatenÂ
Â